Kamis, 14 Februari 2008

Cinta Lama



Saya tunggu kamu di tempat biasa

pengirim : 0816196xxxx


Sms dari seseorang yang pernah mengisi hidup saya. Dulu.
Cuaca mendung seperti ini lebih asik jika saya gunakan untuk memanjakan diri. Tidur .... ya lebih baik saya tidur, mengistirahatkan tubuh saya yang seminggu ini sudah cukup terlalu sibuk.

Riki ….
Saya mengenalnya saat saya masih duduk di bangku SMA, dia pacar pertama saya dan cinta pertama saya. Orang bilang cinta pertama itu sangat sulit untuk dilupakan, dan ternyata perkataan itu benar adanya. Empat tahun, waktu yang cukup lama menurut saya, namun ntah mengapa sangat sulit untuk menghapus bayangannya.

Riki ....
Pria berperawakan tinggi, berkulit sawo matang dan memiliki paras yang tampan. Wanita mana yang tidak tertarik padanya “Kamu beruntung Sis, bisa dapetin cintanya Riki,” kata teman saya saat itu. Ya ... saya memang tidak memungkirinya, bisa di bilang saya hanya seorang gadis biasa dengan tinggi badan dan wajah yang jauh dari sempurna, sepintas memang tak ada yang menarik dari saya.

“Sisca, aku mencintaimu apa adanya, aku tak pernah peduli apa kata orang lain. Aku mencintaimu dengan semua kekuranganmu dan kelebihanmu.” kurang lebih seperti itu kalimat yang meluncur dari mulut Riki, saat dia mengutarakan isi hatinya. Empat tahun yang lalu.

Saya sangat mengharapkan kedatangmu

Pengirim : 0816196xxxx


“Huuuh ..... “

Sebenarnya mengigatnya kembali merupakan beban mental bagi saya. Namun dengan jujur, saya pun merasakan kerinduan yang teramat sangat padanya. Saya kembali teringat awal pertemuan dengannya. Di sebuah halte salah satu Departemen di kota ini, tak ada yang istimewa, namun cukup mengesankan bagi saya. Betapa tidak pertemuan kami di halte itu bisa di bilang sebagai kencan pertama kami.

Saya hanya meletakan ponsel saya di atas ranjang, sama sekali saya tidak membalas sms Riki. Saya tidak mau patah hati lagi, cukup sekali. Rasa sakitnyapun belum hilang.

Saya berusaha keras memejamkan mata, mencoba melupakan semua kenangan saya tentangnya yang tiba-tiba saja teringat kembali.

Datanglah Sisca, saya sudah lama menunggumu di sini

Pengirim : 0816196xxx


Entah, kekuatan apa yang tiba-tiba menyetakkan saya, dengan segera saya merapihkan diri dan dengan kecepatan tinggi saya kendarai mobil saya menuju tempat di mana Riki sedang menunggu kedatangan saya.

*****

Saya mencari sosok seorang lelaki yang empat tahun lalu pernah saya cintai (bahkan sampai saat ini). Mata saya sibuk menelusuri café ini. Café yang sejak dulu selalu kami sambangi jika berkencan pada malam minggu.

Riki ….
Dia duduk di tempat favorit kami dulu. Di mana melalui tempat duduk itu kami bisa melihat danau kecil yang berada di samping café ini. Tidak ada yang berubah darinya, potongan rambutnya tetap seperti dulu, rambut dengan potongan lima centinya. Gaya berpakaiannya masih sama, jeans dan kaos oblong.

“Hai …. Sisca.” Riki melambaikan tanganya kearah saya.

“Hai …. “ tiba-tiba jantung saya berdegup kencang. Huh … kembali saya alami rasa ini. “Maaf … sudah membuatmu menunggu.”

Saya mencoba mengedalikan perasaan saya, saya tidak mau terlihat canggung di depannya. Riki menceritakan semua kisahnya pada saya, dia pun menjelaskan kenapa empat tahun yang lalu tiba-tiba dia meninggalkan saya. Tidak masuk akal, namun dapat saya terima.

“Sisca … saya masih menyayangimu.”

Seketika degup jantung saya terasa berhenti, nafas saya terasa sesak. Dan saya tetap berusaha mengendalikan perasaan saya sendiri.

“Saya pun begitu … “ namun kata-kata saya hanya di dalam hati, saya tidak berani mengungkapkanya.

“Tapi … Rik, ini gak mungkin, kita sudah sama-sama mempunyai kehidupan masing-masing. Kamu dengan istri dan kedua anakmu, sementara saya dengan suami saya.” Ya … Kami sama-sama sudah berkeluarga, namun saya yang sudah setahun menikah belum juga di karuniai seorang momongan.

Sakit rasanya ketika saya mengetahui Riki sudah memiliki dua orang anak, dia bilang dia tidak begitu mencintai istri pilihan orang tuanya. Tapi, kenapa dua anak itu bisa lahir dari rahin istrinya. Lelaki memang seperti itu. Tidak mencintai, namun tetap di gauli. Bajingan.

Sejenak kami berdua hanya terdiam, sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Terlintas di benak saya, untuk menjadikan Riki sebagai pria simpanan saya. Semoga Riki juga berfikir seperti itu, mau menjadikan saya sebagai wanita simpanannya. Dengan begitu kami akan membuat kesepakatan untuk sama-sama serong, menghianati pasangan kami masing-masing. Dan hanya kami berdua yang tau. Cukup kami berdua saja.



_____

Jakarta, 150208, mendengar curahanhatinya

Minggu, 03 Februari 2008

Warung kopi

“Ora turu Jeng Ayu?”

“Mengko disit, tanggung” wanita paruh baya itu masih asik dengan kegiatan rutinnya.

“Tanggung opo?” Tanya pria itu lagi.

Hari sudah larut malam, wanita paruh baya yang biasa di panggil Jeng Ayu, terlihat makin sibuk saja. Sibuk merapikan warung kopi miliknya. Jeng Ayu, sudah cukup lama membuka usaha warung kopi. Tepatnya sejak suaminya pergi meninggalkannya begitu saja. Maka sejak saat itu jeng Ayu bergantung hidup pada warung kopinya.

Bisa dibilang kalau Jeng Ayu adalah janda semok, meski usianya sudah tak muda lagi namun penampilanya tetap oke punya. Jeng ayu ditinggalkan oleh suaminya lantaran Jeng Ayu divonis mandul oleh dokter, sementara suami Jeng Ayu yaitu Mas Kirman sangat ingin mempunyai anak, dan saat itu tanpa pertimbangan dengan Istrinya Mas Kirman menikah lagi dengan seorang gadis. Karena merasa harga dirinya diinjak-injak maka Jeng Ayu pun meminta untuk di ceraikan saja.

“Iki loh Mas, aku lagi ngitung setoran lonte-lonteku,” Selain usaha warung kopi, Jeng Ayu pun memiliki usaha sampingan “Untuk sekedar nemenin minum kopi kok Mas” begitu alasanya ketika di tanya kenapa ia berbisnis sewa-menyewa lonte.

“Hihihi ….. piye, rame usahamu Jeng?” Mas Bowo, pria yang keseharianya bekerja sebagai mandor ini sering sekali mampir ke warung kopi jeng Ayu, bisa dibilang dia adalah langganan tetap warung kopi Jeng Ayu.

“Ya … begitulah Mas, namanya juga usaha” Jawab Jeng Ayu dengan logat Jawanya yang cukup kental.

“Siipp lah Jeng.”

“Sampeyan arep sewa lonteku Mas?” Jeng Ayu mulai mendagangkan lontenya, sebenarnya tidak setiap malam Jeng Ayu menawarkan lonte-lontenya, karena setiap orang yang datang ke warung kopinya dengan sendirinya akan menyewa salah satu lonte milik Jeng Ayu.

“Weh … asih ono toh Jeng?” Jawab pria yang berperawakan tinggi besar

“Ya .. ono toh Mas” Jawab Jeng ayu semangat. Biasanya sih kalau sudah larut begini lonte jeng Ayu sudah terboking semua, tapi entah ada apa malam ini, lontenya masih ada yang berdiam diri di markas, belum ada yang minat untuk menyewanya.

“Pesen siji ono ?” Pria itu menyodorkan cangkir kopinya yang sudah kosong.

“Ya ono toh Mas, ono telu sampean pilih dewe. Sa’karepmu?” Jeng Ayu memanggil ketiga lontenya, yang sejak tadi belum ada yang minat untuk menyewanya.

“Wah … tenan iki Jeng?”

“Ya … tenan toh Mas, sampean ta’ kasih diskon.” Mas Bowo memang belum pernah sama sekali menyewa lonte milik Jeng Ayu “Terlalu ranum Jeng, aku ra’ tega” begitu alasan Mandor itu ketika di tawarkan lonte milik Jeng Ayu.

“Sampean pilih saja, sa’karepmu. Ono sing klop, ya wis langsung boyong …. hahhahahah” Jeng Ayu tertawa lepas, sementara ketiga lontenya harap-harap cemas (berharap semoga di pilih oleh Mas Bowo dan cemas bila tak terpilih, karena nanti bisa kena semprot oleh Jeng Ayu).

“Hmmm ….” Gumam Mas bowo sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Jeng, gimana kalau aku sewa kamu saja malam ini,” Mas Bowo kembali mencoba menggoda Jeng Ayu. Sebenarnya Mas Bowo sangat menaruh hati pada Jeng Ayu, dia juga pernah mengungkapkan isi hatinya pada Jeng Ayu.

“Aku tresno karo sampeyaan Jeng Ayu”

“Huh … ra’ sudi aku Mas, sampean wis duwe bojo, anak banyak. Moh aku” Jawab Jeng Ayu saat itu.

“Sembarangan sampeyan Mas, aku ini dudu lonte, aku ini germo, sebagai germo aku ora oleh nyerobot lahan lonteku” jawab Jeng Ayu seraya mencibir ke aarh Mas Bowo.

“Ya … sekali-kali ra’ popo lah Jeng”

“Ora … Emoh aku!”

“Ya wis Mas, sampean pilih saja, tuh lonteku sudah nunggu, aku tinggal kedalem dulu” Jeng Ayu masuk ke dalam rumah sambil membawa kotak uang hasil setoran beberapa lontenya yang sudah balik kandang.

“Arep turu Jeng?” Mas Bowo sedikit membuntuti Jeng Ayu kedalam rumahnya.

“Dudu … aku arep sembayang”

“Sembayang opo toh Jeng, tengah malem begini”

“Sembayang tahajud, arep mohon ampun karo gusti Allah. Oh iya Mas, nanti kalau sudah pilih lonteku, jangan lupa kasih dia tips yang banyak …. hahhahahha” Jeng Ayu segera menutup pintu kamarnya.