Sabtu, 22 Desember 2007

Undang-Undang


Hanya cerita iseng yang ku buat bersama nirozero

______

Alkisah pada suatu sore dua orang sahabat Dini dan Yudis ingin pergi jalan-jalan sore, maklum lah ceritanya Dini dan Yudis adalah seorang mahasiswa yang mahasibuk, hampir setiap hari kegiatannya lebih sering di lakukan di kampus, bahkan tak jarang merekapun mandi dan tidur di kampus, maklum saja rumah mereka jauh dari kampus, jadi ini adalah salah satu alternatif mereka untuk menghemat pengeluaran.

“Din ... jalan-jalan kemana ya enaknya?” tanya Yudis yang mulai gerah, maklum aja rambut Yudis gondrong berantakan gak jelas. Katanya si biar keliatan kalau dia orang seni (Yudis itu anak band loh)

“Emmm ... kemana ya ? Gimana kalo kita ke rumah Om gue aja di Grogol” Jawab Dini dengan wajah sumringah. Dini adalah temen dekat Yudis mereka sudah saling kenal sejak jaman SMA dulu, Dini cewek yang lumayan tomboi, hobinya baca majalah gosip *tomboi kok demen majalah gosip ... aneh

“Ok deh .. boleh” Yudis setuju dengan ajakan Dini


******

Yudis dan Dini duduk manis di halte, dengan sikap manis mereka menunggu Bus yang mereka maksud, sesekali pandangan Yudis dan Dini mengelilingi area sekitar, apa saja yang mereka lihat tanpa segan mereka komentari, dari mulai tukang koran, pedagang asongan, sampe tukang minta-minta, bahkan polisi yang perutnya buncitpun habis mereka jadikan bahan olokan *maklum mahasiswa aktif kan paling suka mengkritik .... hehhehe

“Yud ... lo liat deh, pengamen yang di lampu merah itu, gila ya ... masih kecil banget” Dini terus mengarahkan padanganya ke arah pengamen kecil tersebut. Naluri keibuanya keluar iba melihat bocah pengamen tersebut *biar tomboi Dini kan tetep wanita.

“Iya ... kasian, makanya lo kudu banyak bersyukur Din” timbal Yudis sok bijak

“Ho oh .... gue mo nyamperin tu anak ah, gue mo kasih duit, kesian bener dari tadi gue perhatiin dari sekian banyak mobil mewah gak ada satupun yang ngasih.” Dini segera mengambil uang dari saku kemeja panelnya dan beranjak dari halte.

“Eh ... Din, lo jangan ngasih duit ke tu anak!” Yudis menarik lengan kemeja Dini.

“Yeee ... mang kenapa, gue gak boleh ngasih tu anak duit ?!” Dini merasa aneh pada Yudis, karena setau dia Yudis adalah tipe orang yang peduli banget ama sekitar, tapi kenapa kali ini Yudis benar-benar melarang Dini melakukan hal sosial.

“Eh ... dudulz mang lo gak tau apa ? Sekarang tuh ada Undang-undang yang isinya larangan memberikan santunan buat pengamen dan pengemis jalanan” Jawab Yudis sambil melirik si polisi bertubuh gempal dengan perut yang super buncit.

“Buseettt .... peraturan yang aneh !! siapa yang bikin sih ? Kok gue gak pernah denger ya ?!! Bodo amat ah! Lepasin gue!” teriak Dini. Dia nekat sebab dia merasa bener. Emang ada dalam Al-Qur’an ngasih duit ke orang itu dosa? Kok negara berani bener melarang orang berbuat baik, Jahat banget tuh pemerintahannya. Pasti kebanyakan makan duit korupsi. Jadi, otaknya ketularan korup tuh!

Dini tetep nekat mendekati anak kecil tersebut dan memberikan selembar uang ribuan ke dalam kaleng kecil di tangan anak itu. Anak itu tersenyum polos. Dengan segala ketulusan hati dia mengucapkan terima kasih kepada Dini. Dini pun tersenyum kepada anak itu. Lega rasanya setelah berbuat baik walau hanya sekali saja.

Tapi, belum sempat kembali kepada Yudis. Tahu-tahu seorang polisi berperut buncit yang tadi mereka gosipin sudah ada tepat di belakang Dini. Dia langsung menegur Dini.

“Mbak! Anda melanggar UU Perda tentang larangan memberi santunan kepada gelandangan. Terpaksa Anda harus saya tangkap,” ucap polisi itu tiba-tiba. Dini yang nggak terima dengan perlakuan semena-mena itu nyolot juga. Karena dia merasa dirinya benar. *Dini emang paling hobi nyolot ... sekali lagi maklum aja doi mahasiswa aktif ... aktif ikut demo maksudnya.

“Lho ... Pak, saya kan berbuat baik, kok Bapak mau tangkap saya sih? Mendingan Bapak tangkep tuh preman yang nongkrong di pinggir jalan,” katanya sambil nunjuk-nunjuk Yudis. Sementara si bocah yang pengamen hanya memandang mereka dengan heran.

Yudis spontan kaget pas ditunjuk-tunjuk seperti itu. Dia jadi ngerasa dijadikan kambing hitam sama Dini. Dan akhirnya bocah pengamen itu pergi menjauh “Gak ikutan ah …. “ ujarnya sambil berlalu.

“Duh, tuh anak! Padahal dah dikasih tahu tetep ngeyel juga! kena kan loe sekarang,” gerutu Yudis.

Tapi, karena Yudis orangnya baek dan nggak pendendam. Dia nggak langsung kabur ketika ditunjuk-tunjuk sama Dini. Dia malah mendekati Dini dan polisi itu untuk menjelaskan semuanya.

“Ada apa Pak?” tanya Yudis dengan tampang innocent (ingin nonjok cetengah mati maksudnya).

“Oh, jadi kamu juga mau menyerahkan diri sama saya?!” bentak polisi buncit itu. *mungkin ini azab gara-gara tadi mereka gosipin polisi ini

“Weits, nggak pak! saya cuma pingin tahu aja pokok permasalahannya, cuma itu kok Pak!” ucap Yudis ngeles. Fyuh! Angker banget sih nih polis. Pasti tadi malem abis nelen boneka jelangkung deh! Atau jangan-jangan dah tengah hari bolong gini doi lom dapet duit tilangan ?... wakakka

“Ini lho dek! Teman kamu ini melanggar UU Perda tentang larangan memberi santunan kepada gelandangan. Dan teman kamu ini masih nekat kalau dia tidak bersalah!” ucap polisi itu garang. Yudis lalu manggut-manggut seperti burung onta nelen kacang kenari. Jakunnya yang bulet gedhe naik turun di lehernya yang kurus.

“Oh, gini Pak! Temen saya ini masih baru di Jakarta. Jadi, dia belum tahu peraturan terbaru disini. Jadi, maafin temen saya ya Pak!” kata Yudis meminta maaf.

“Lho, kok gue sih yang harus minta maaf. Seharusnya hmmmfffh. . . . .” Yudis buruan membungkam mulut Dini yang ember abis.

“Sssstt! Diem loe Din. Gue baru nyelametin loe dari denda tiga puluh jeti!” bisik Yudis ke telinganya Dini.

“Ngg. . . Pak. Kita kan sesama warga Jakarta ya Pak. Kita damai aja yuk Pak.” Rayu Yudis pada Polisi yang bentuknya dah kayak teletubies.

“Tapi … nggak bias!!. Temen kamu ini kan. . . .”

“Temen saya lom ngasih duit damai maksud Bapak ?” Sebelum polisi itu selesai ngomong. Yudis segera menyalami tangan polisi itu dengan segepok duit. *tau gak yang di kasih ke tu polisi cuma duit ribuan tiga lembar ... hehheeh

“Wah, makasih banget nih Pak! Kebetulan bus kite dah dateng! Kita pamit dulu yee!!!” kata Yudis sambil tersenyum penuh arti dan polisi itu keliatannya nangkep bener apa yang dimaksud sama Yudis.

“Oh, gitu ya. Ati-ati lho Dik! Belajarnya yang giat ya!” kata polisi itu dengan tersenyum.

“Pak .. besok-besok saya mau usul sama pemerintah supaya di bikin UU buat polisi-polisi rakus macam Bapak, yang doyan minta duit damai ama warga Jakarta” bisik Dini ke telinga Pak polisi. Dini tampak emosi, Yudis langsung memanggil Dini untuk segera masuk kedalam bus. Untungnya setelah Dini masuk kedalam bus, supir bus langsung tancap gas, klo gak bisa kena semproot si Dini dah ngomong begitu sama polisi.

“Emang tadi polisi itu loe kasih berapa Dis?” tanya Dini kemudian. Dia ternyata tahu udang di balik bakwannya Yudis.

“Tiga ribu.”

“Ha ?!”

“Biarin. Yang penting kita ngasihnya ikhlas . Hehehe. . .” Yudis tertawa tanpa sedikitpun rasa bersalah. Ya … memang nyatanya mereka berdua tidak bersalah.

Dalam Bus besar itu tawa Yudis dan Dini menggelegar penuh kemenangan, dengan kompak mereka menatap ke arah polisi tadi sambil melambaikan tangan penuh dengan rasa hormat.

“Wakakkakakakka ….” Lagi-lagi mereka tertawa lepas.

Senin, 17 Desember 2007

Warung Kopi



"Habis intip-intip Blognya Dewi Lestari, jadi bikin cerita gak jelas begini (ceritanya terispirasi sama salah satu tulisanya, tapi sayanya gak bisa ngembangin inspirasi itu). Jadinya cuma begini deh. Tak apa lah"
______

"Apa kabar jeng?" sapanya saat kami janji bertemu untuk sekedar minum kopi bersama.

"Baik" ku balas sapaannya dengan senyum manisku. Lalu cipika cipiki

Kami pun memesan secangkir kopi kapucino, sedikit berinteraksi demi mancairkan suasana. Sudah lama tak bertemu muka.

"Siapa kekasihmu yang sekarang?" pertanyaan ini lagi. Bosan aku

"Balik lagi sama yang dulu." Akhirnya kopi kami pun datang. Nona berparas cantik yang mengantarnya.

"Oooh ya, kenapa balik sama dia?." Bagiku ini pertanyaan bodoh.

"Cinta mati sih" jawabku sambil tertawa. Diminum jeng kopinya

kamipun terhanyut dalam suasana yang sarat dengan canda dan tawa, bertemu teman lama memang menyenangkan.

"Kamu sendiri, bagaimana?" aku balik bertanya, ingin tau juga soal kisah cintanya.

"Kami nyaris hampir menikah" jawabnya datar

"Nyaris ?"

"Ya ... nyaris" Dia tertawa, seolah menertawakan hidupnya sendiri. Dan akupun ikut tertawa, tepatnya menertawakan kebodohanya di masa lalu. ah sudahlah lupakan

Akhirnya kami sepakat untuk tidak menceritakan kisah cinta kami, takut kalau nantinya malah merusak suasana sore ini.

"Btw ... badanmu masih segini-gini aja" dia tertawa terkekeh

"Dari dulu memang begini Non, tak usah heranlah!" kurus salah, gemuk lebih-lebih. terlalu banyak komentar.

"Eh ... aku punya prodak baru loh, hand&body lotion. Bisa memutihkan kulit" Tatapan matanya seperti meledekku.

"Aaah ... aku tidak pernah percaya dengan prodak-prodak pemutih. Kamu tau sendirikan, dari dulu aku pake prodak yang katanya bisa memutihkan dalam waktu enam minggu. Tapi mana buktinya? sudah enam tahun lebih aku pake prodak itu. dan kamu bisa lihat sendiri hasilnya." aku mencari si pelayan yang cantik tadi, dengan maksud ingin memesan kopi lagi. Duh ... candu rupanya.

"Hahahahhaha ..... "Dia tertawa penuh arti

"Sial" gumamku

Pulang dari warung kopi ini, kamipun sepakat untuk menemui si DIA, huehuheuehe

Sabtu, 15 Desember 2007

Randy

"Jam 5 sore di tempat yang sudah kita sepakati"
"Mau kemana?"
"Ikut saja, jangan lupa bawa pakaianmu"

tut .. tut ... telpon terputus.

Hufff ... aku tak mampu berfikir dengan jernih. ku hempaskan tubuhku di atas ranjang, pandanganku pun menarawang jauh. Semua ini membuatku makin pusing.

Aku memang sangat mencintainya, bahkan aku tak ingin jika harus kehilanganya. Dan saat ini aku harus benar-benar punya sikap atas perasaanku ini.

"Kamu jangan gila Sar !" lagi-lagi Rani berkomentar. Rani memang sahabatku yang baik, dia selalu ada saat aku membutuhkanya, selalu memberikan saran-sarannya padakau meski tak jarang aku selalu mengacuhkanya.

"Aku mesti gimana lagi ?" tanyaku datar.

"Kamu sudah terlalu banyak berkorban buat dia, tapi apa yang kamu dapat?" Rani mulai kesal denganku. Hanya karena sifatku yang keras kepala tak jarang aku dan Rani bertengkar.

Rani memang teman yang baik, makanya dia pun layak untuk ku jadikan sahabat. Sifatnya yang agak keibuan terkadang mampu membuatku berfikir dengan sedikit jernih, tapi entah kenapa kali ini aku benar-benar tidak mampu untuk berfikir dengan menggunakan akal sehatku, semua saran yang di berikan Rani sama sekali tidak kujadikana bahan pertimbanganku atau bahkan sekedar perenungan.

"Ran ... mengertilah, aku sangat mencintainya" lagi-lagi aku meminta Rani untuk bisa mengerti keadaan bahkan perasaanku, padahal tanpa ku minta pun Rani sudah pasti mengerti tentang aku.

"Iya ... aku tahu itu" jawab Rani datar.

"Kamu tahu kan Ran, aku sangat ingin selalu ada di sampingnya" perlahan aku tertunduk dan mulai terisak.

Randi ... seorang pria yang biasa saja, dia sudah mampu menyihirku dengan pesonanya. Sudah sangat lama aku mengenalnya, bahkan diam-diam aku mencintainya. Randi tahu akan hal itu, tapi aku sendiri tidak pernah tahu apakah dia juga mencintaiku.

"Tapi Sar, bukankah Randi sering menyakiti perasaanmu" lagi-lagi Rani mengingatkanku akan hal ini.

Ya ... memang benar apa kata Rani, Randi memang sering sekali membuat hatiku terluka, bahkan tak jarang aku di buat menangis atas sikapnya. tapi entah kenapa aku selalu saja bisa memaafkanya. Demi tuhan aku sangat mencintainya.

"Aku ingin bersamanya Ran, mungkin ini saatnya, dan aku yakin ini jawaban atas semua doaku" dengan sedikit tersenyum aku mulai mengemas pakaianku. Tak banyak hanya sekedarnya saja, karena mungkin nanti Randi akan membelikanku pakaian atau lebih dari sekedar pakaian.

"Gila ... kamu sudah benar-benar gila Sar. Kamu sadar gak atas keputusanmu ini? setelah sekian lama Randi pergi begitu saja tanpa mengacuhkanmu sama sekali, dan kini tiba-tiba dia datang dan menyuruhmu untuk ikut denganya" Rani tampak kesal, dengan jelas aku bisa melihat garis kecemasan di wajahnya nan ayu.

"Ran ... percayalah, aku akan baik-baik saja" sekali lagi aku coba untuk meyakinkan Rani atas keputusanku ini.

Jam empat sore, akupun berpamitan dengan Rani, dan akhirnya dengan berat hati Rani membiarkanku pergi dengan orang yang sangat kucinta.

"Hati-hati Sari, terus kabariku tentang keberadaanmu" bisik Rani lirih di telingaku. Aku hanya mengangguk perlahan.

****

Setengah jam sudah aku menunggu Randi di tempat ini, namun tanda-tanda kedatangnya belum juga terlihat.

"Ah .. barangkali dia sedang sibuk mengemas barangnya" aku mecoba berfikir positif, dan membuang jauh fikiran jeleku tentangnya. Demi tuhan aku mencintainya.

Berualangkali ku hubungin ponsel Randi, tapi tak juga di angkatnya. Satu jam sudah aku menunggunya di tempat ini. Oh ... tuhan apakah engkau masih ingin mempermainkan perasaanku.

"Randi .... kenapa dia juga belum datang sampai saat ini, atau dia juga mulai senang mempermainkan perasaanku" hatiku miris, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Yang pasti aku akan tetap menunggunya disini sampai dia datang dan membawaku pergi bersamanya.

Jumat, 14 Desember 2007

Haus

“Sedang apa ?”
“Mengasah pedang”
“Untuk apa ?”
“Aku haus”
“Ini ku bawakan es teh manis untuk mu”
“Aku haus darah!”
“$&^%&^%^ ??”

Senin, 03 Desember 2007

Kecebong


Minggu ini Mamad dan Jono libur mengaji, karena guru yang biasa mengajar mereka mengaji sedang sakit, kabar yang mereka terima mengatakan kalau guru ngaji mereka sedang demam tinggi dan flu berat, kalaupun nekat datang ke ta'lim dan mengajar di khawatirkan nanti akan menularkan murid-muridnya. Maka jadilah sore ini Mamad dan Jono sepakat untuk kembali bermain bersama.

“Mad, kita main kemana nih ?” tanya Jono di tengah perjalanan mereka.

“Gue juga bingung Jon” jawab Mamad dengan santai dan tetap asik dengan roti di genggamanya.

Sore ini Mamad dan Jono benar-benar bingung, mereka terus menyusuri jalan tanpa mereka tau kemana tujuan mereka.

Padahal biasanya Mamad dan Jono setiap sorenya selalu bermain di lapangan balong. Mamad asik duduk di bawah pohon bambu sambil membuat suatu karya, entah itu ketapel, layang-layang, atau kuda-kudaan dari pelepah daun pisang. Mamad memang mempunyai tangan yang amat sangat kreatif, benda apa saja yang dia pegang bisa dia jadikan suatu karya (kecuali makanan).

Lain halnya dengan Jono, bocah yang berperawakan kurus ini bila sudah di lapangan balong, sudah pasti dia langsung beraksi. Mulai dari main kasti, galasin, tak jongkok bahkan nimbrung main lompat tali bersama anak-anak perempuan (maklum aja Jono anak yang supel, dia gak kaya Mamad yang rada pemalu). Namun sebenarnya Jono paling suka bermain bola, Jono cukup lihai bila menggiring bola, setiap bermain poisinya selalu menjadi gelandang-an (klo main bola Jono suka sembarangan, hantam sana, hantam sini. Main kasar gitu deh)

“Jon ... lu kenapa gak main bola aja di lapangan, kan biasanya lu main bola ?” Mamad tahu betul hoby Jono, dan Mamad pun tahu kalau jono bercita-cita ingin menjadi pemain bola seperti David Becham.

“Males ah ... abis lu gak mau ke lapangan balong. Nanti kalau gue main bola siapa yang nyorakin(nyemangatin) gue” Jono memang suka benget sama yang namanya main bola, tapi kalau Mamad gak mau nonton dia main bola, maka maleslah si Jono main bola. *halah ...aleman si Jono

Sudah tiga hari ini Mamad enggan bila di ajak main kelapangan, lantaran kamis sore lalu, Mamad melihat sosok aneh di sudut lapangan. Seseorang bertubuh besar berdiri tegap seolah sedang mengawasinya, dan yang membuat Mamad takut adalah sosok itu besar namun besar tubuhnya tidak seperti orang kebanyakan, sosok yang Mamad lihat amat tinggi, dan tingginya itu hampir setara dengan tiang antena TV Mak Jum. *menyeramkan, Mamad saja sampai terkenjing-kencing saat itu.

“Mad .. Mad ... liat deh !” tiba-tiba Jono menarik tangan Mamad.

“Aaaah ...elu Jon, narik-narik lagi. Roti gue jatoh dah!” Mamad yang sedang lapar berat langsung cemberut sambil menatap rotinya yang ia perkirakan masih bisa tiga kali suap lagi.

“Hehehehe .. maaf ya Mad, nanti di rumah gue ganti deh. Janji!” Jono langsung merangkul Mamad, agar Mamad tidak lagi cemberut.

“Ada apa sih, elu narik-narik gue?” Mamad masih memandang rotinya yang terjatuh.

“Itu Mad .. liat deh! .. gotnya banyak kecebongnya” dengan kompak kepala Mamad dan Jono memandang ke arah got yang lebar * jadi muatlah kalau Mamad nyemplung kesitu.

“Wah ..iya Jon, banyak banget, masuk yuk Jon, kita tangkep-tangkepin kecebongnya” Mamad segera melepas sandalnya, lalu masuk kedalam got.

Tanpa di komando lagi Jono segera mencari kantong plastik untuk di jadikan wadah kecebong. Lalu ikut masuk ke got bersama Mamad.

Sore itu Mamad dan Jono asik dengan permainan barunya, yaitu mencari kecebong di got yang berada di komplek perumahan elit.

“Cari yang banyak Mad, nanti kita jual ke anak-anak!”

“Iya Jon, nanti uangnya kita bagi dua”

“seeppp ... !!”