Minggu, 18 Mei 2008

Membaca Puisi

Malam ini ada acara pentas seni, salah satu acaranya adalah membaca cerita mini. Saya tertarik dan ikut mengamati acara itu dari sini.

“Gadis itu cantik,” kata salah satu juri yang mengenakan safari

“Iya, namanya Sari. Dia cucunya Pak Rudi.” Saya mendengar percakapan juri, karena saya berdiri persis di belakang juri.

“ Oooo begitu, dia membaca cerita mini atau puisi ?” Tanya juri bersafari.

“Cerita mini lah, ini kan bukan lomba baca puisi.”

“Hhhmmmm …. Tetapi kenapa terdengar seperti sedang membaca puisi ?”

“Dia cucunya Pak Rudi yang memberi donasi untuk acara ini.” Jawab Pak RT yang juga menjadi Juri.

“Lantas …?” lagi-lagi tanya juri bersafari.

Pak RT mengerlingkan mata, seolah memberi tanda. “ Ya … baiklah,” Juri bersafari kini mengerti.

Saya di sini jadi menggerutu sendiri, baca cerita mini kok seperti membaca puisi. Dan … aaahhh sial ternyata si Sari mendapat nilai paling tinggi.

Sabtu, 12 April 2008

Kata Bapak

Kata Bapak “Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.”

Sudah tiga bulan ini Bapak menganggur, dan sejak saat itu kerjaan Bapak cuma luntang lantung gak jelas. Saya sebagai anak pertama merasa harus membantu Bapak, makanya setiap pulang sekolah saya mencari uang dengan mengamen di lampu merah. Emak saya menjadi kuli cuci, sedangkan adik-adik saya masih kecil.

Becak Bapak di sita oleh Pak Polisi, katanya Bapak melanggar peraturan lalu lintas “Anda gak lihat di tiang depan sana ada gambar becak di larang masuk di area sini?!” begitu kata Pak Polisi, suaranya keras, dan matanya pun sambil melotot. Sejak saat itu saya benci dengan orang yang beseragam coklat itu, saya benci karena dia telah mengambil becak Bapak, dan saya benci karena Pak Polisi membentak Bapak di depan saya. Saya masih ingat nama Pak Polisi itu, dan saya berjanji kalau nanti saya punya uang saya akan mengambil becak Bapak, dan tidak lupa saya akan menonjok perut Pak Polisi yang buncit itu.

Malam itu lagi-lagi Bapak bilang “Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.” Saya tesenyum sambil memijat-mijat pundak Bapak. “Iya Pak” jawab saya. Sementara Emak saya sibuk membuat air tajin untuk adik bayi saya.

“Tidurlah, besok sekolahkan?”

“Iya Pak.”

“Tenang saja, besok beban hidup kita akan berkurang.” Ucap Bapak sambil tersenyum datar.

“Besok Bapak, sudah bekerja lagi?” tanya Emak, yang masih sibuk dengan air tajin untuk adik bayi. Bapak tidak menjawab, Bapak hanya tersenyum.

Malam itu saya tertidur dengan pulas. Sedangkan Emak, ah ... dia masih sibuk dengan pekerjaan rumah, sementara Bapak, dia sedang asik memainkan handuk kecilnya yang selalu setia menemaninya ketika sedang menarik becak.

_______

Pagi ini saya lihat bapak sudah tidak ada di rumah, saya tanya Emak dia pun tidak tahu kemana perginya Bapak.

“Mungkin Bapakmu lagi cari pekerjaan Le, atau mungkin Bapakmu sudah kerja lagi. Sudah sana berangkat sekolah.”

“Iya Mak.” Pagi ini saya ceria sekali, karena kalau memang benar Bapak sudah bekerja lagi, artinya saya tidak perlu mengamen di lampu merah.

Cuaca pagi ini agak mendung, makanya saya buru-buru pergi kesekolah. Tapi di lampu merah tempat biasa saya mengamen ramai sekali dengan orang-orang, di sana juga ada beberapa orang yang berseragam coklat.

Karena saya penasaran akhirnya saya memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana. Orang di sebelah saya bilang katanya ada orang yang mau bunuh diri dari tiang lampu lalu lintas yang tingginya mencapai tujuh meter. Tiang lampu lalu lintas itu berada tidak jauh dari tiang yang berlambang becak yang di coret. Saya semakin penasaran, dan saya mencoba untuk menerobos kerumunan orang-orang.

Dan betapa kagetnya saya, di sana terbujur tubuh Bapak, dia merintih kesakitan sembil mencoba menggerakan kakinya. Saya rasa kaki Bapak patah. Sambil kesakitan, Bapak masih sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.” kembali terngiang perkataan Bapak.

Kamis, 03 April 2008

Papa Baru

“Enggak Mama ... Aku gak mau punya Papa baru!” Ananda berteriak kencang, saat Mamanya hendak pergi kencan dengan salah satu teman laki-lakinya.

“Sayang ... memangnya siapa yang mau cariin kamu Papa baru? Mama cuma mau pergi makan malam dengan teman lama Mama kok.” Sang Mama mencoba menerangkan dengan lemah lembut.

Ananda, seorang bocah berusia enam tahun. Saat ini ia duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Sebagai anak satu-satunya, Ananda kerap sekali bersikap manja kepada siapa saja, terlebih saat Papa KD tak pernah lagi kembali ke rumah. Konon kabarnya Papa KD dipindahtugaskan ke daerah pelosok. Sebagai prajurit yang berbakti, Papa KD pun menerima tugas itu dengan senang hati. Dan Mama Nisa yang baik hati pun dengan ikhlas merelakan Papa KD bertugas diplosok desa.

“Kalau begitu aku ikut!”

“Jangan sayang, Mamakan pergi dengan teman-teman Mama. Memangnya kamu mau ngobrol bareng dengan orang tua?” Mama Nisa tersenyum manis, ketika melihat anak semata wayangnya mulai merajuk.

“Iya Nanda, kamu di rumah saja dengan Om Dadun ya, nanti Om Dadun beliin es cream deh.” Om Dadun ikutan merayu.

Om Dadun adalah adik dari Mama Nisa, sudah dua bulan ini ia tinggal di rumah Mama Nisa. Sebenarnya Mama Nisa sudah sejak lama meminta Om Dadun untuk tinggal dengannya, namun Om Dadun tetap bersikeras tinggal di kampung bersama Nenek. Maklum saja Om Dadun ini orangnya super lugu, pemalu tapi dia pandai menulis lagu, sudah banyak lagu yang dibuat oleh Om Dadun, namun sayangnya tak satupun yang ia orbitkan “Malu ah, aku gak pede” selalu itu yang mejadi alasanya. Tapi anehnya meskipun Om Dadun orangnya pemalu, ketika di suruh bergaya di depan camera, Om Dadun mampu bergaya dengan pede dan narsis.

“Ok ... sayang, Mama pergi dulu ya,” Mama Nisa lalu mengecup kening anaknya yang imut-imut alias item mutlak, lalu dengan sedikit berlari Mama Nisa segera masuk ke dalam mobilnya. “Dadun ... jaga Ananda baik-baik ya!” teriak Mama sebelum mobilnya melaju.

Dan akhirnya, Malam Minggu ini lagi-lagi Ananda hanya ditinggal berdua dengan Omnya.

“Om, aku curiga. Cuma mau makan malam aja kok Mama dandannya rapih banget ya, wanginya minta ampun, aku sampai mau pingsan nyium bau parfum Mama.”

“Ya ... Mamakan mau pergi dengan temannya, kalau Mamamu gak rapih dan wangi nanti apa kata teman Mama. Ih ... Mamanya Ananda bau. Kamu mau Mamamu dibilang bau?” Om Dadun yang lugu dan kutu buku mulai membuka buku bacaanya.

“Ya ... enggalah Om. Mamaku kan cantik, Papa KD aja yang gak pernah nyadar, masa anak semanis aku dan istri secantik Mama Nisa di terlantarkan seperti ini. Papa KD jahat, dia lebih memelih tinggal di desa, dari pada di sini.” Lagi-lagi Ananda merajuk. Sementara Om Dadun hanya tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya yang super tebal.

Kalau sudah sibuk membaca, Om Dadun pasti gak akan bisa diganggu, dan kalau sudah begini, Ananda males untuk dekat-dekat dengan Omnya.
*****

Karena merasa bete, Ananda pun masuk kedalam kamar Mamanya, lalu ia pun merebahkkan tubuh mungilnya di atas kasur empuk milik Mama.

“Ah ... Papa, kok Papa KD gak pulang-pulang sih. Gak pernah telpon aku lagi, Papa sudah lupa ya dengan aku?” Ananda berbicara sendiri di kamar Mamanya sambil menatap foto Papa KD yang tampak perkasa denga seragam prajuritnya.

Dan tanpa sengaja Ananda menemukan foto yang tergeletak di bawah bantal Mama. Ada dua foto laki-laki. Tidak terlalu tampan tapi juga tidak jelek, hanya agak tua saja. Ananda mengamati kedua foto itu, sambil berfikir, mengapa foto ini ada di bawah bantal Mama. Ananda mencoba mengingat, siapa laki-laki yang ada di foto ini.

“Oh ... iya, aku ingat ini kan foto Om Amri yang mandor bangunan. Dan ini, bukanya foto Om Imrul yang punya distro? Lalu kenapa foto-foto ini ada sama Mama, atau jangan-jangan ..... “

“Om .... Daduuuuuuuuuuuunnn ....!!!”

________

Kamis, 14 Februari 2008

Cinta Lama



Saya tunggu kamu di tempat biasa

pengirim : 0816196xxxx


Sms dari seseorang yang pernah mengisi hidup saya. Dulu.
Cuaca mendung seperti ini lebih asik jika saya gunakan untuk memanjakan diri. Tidur .... ya lebih baik saya tidur, mengistirahatkan tubuh saya yang seminggu ini sudah cukup terlalu sibuk.

Riki ….
Saya mengenalnya saat saya masih duduk di bangku SMA, dia pacar pertama saya dan cinta pertama saya. Orang bilang cinta pertama itu sangat sulit untuk dilupakan, dan ternyata perkataan itu benar adanya. Empat tahun, waktu yang cukup lama menurut saya, namun ntah mengapa sangat sulit untuk menghapus bayangannya.

Riki ....
Pria berperawakan tinggi, berkulit sawo matang dan memiliki paras yang tampan. Wanita mana yang tidak tertarik padanya “Kamu beruntung Sis, bisa dapetin cintanya Riki,” kata teman saya saat itu. Ya ... saya memang tidak memungkirinya, bisa di bilang saya hanya seorang gadis biasa dengan tinggi badan dan wajah yang jauh dari sempurna, sepintas memang tak ada yang menarik dari saya.

“Sisca, aku mencintaimu apa adanya, aku tak pernah peduli apa kata orang lain. Aku mencintaimu dengan semua kekuranganmu dan kelebihanmu.” kurang lebih seperti itu kalimat yang meluncur dari mulut Riki, saat dia mengutarakan isi hatinya. Empat tahun yang lalu.

Saya sangat mengharapkan kedatangmu

Pengirim : 0816196xxxx


“Huuuh ..... “

Sebenarnya mengigatnya kembali merupakan beban mental bagi saya. Namun dengan jujur, saya pun merasakan kerinduan yang teramat sangat padanya. Saya kembali teringat awal pertemuan dengannya. Di sebuah halte salah satu Departemen di kota ini, tak ada yang istimewa, namun cukup mengesankan bagi saya. Betapa tidak pertemuan kami di halte itu bisa di bilang sebagai kencan pertama kami.

Saya hanya meletakan ponsel saya di atas ranjang, sama sekali saya tidak membalas sms Riki. Saya tidak mau patah hati lagi, cukup sekali. Rasa sakitnyapun belum hilang.

Saya berusaha keras memejamkan mata, mencoba melupakan semua kenangan saya tentangnya yang tiba-tiba saja teringat kembali.

Datanglah Sisca, saya sudah lama menunggumu di sini

Pengirim : 0816196xxx


Entah, kekuatan apa yang tiba-tiba menyetakkan saya, dengan segera saya merapihkan diri dan dengan kecepatan tinggi saya kendarai mobil saya menuju tempat di mana Riki sedang menunggu kedatangan saya.

*****

Saya mencari sosok seorang lelaki yang empat tahun lalu pernah saya cintai (bahkan sampai saat ini). Mata saya sibuk menelusuri café ini. Café yang sejak dulu selalu kami sambangi jika berkencan pada malam minggu.

Riki ….
Dia duduk di tempat favorit kami dulu. Di mana melalui tempat duduk itu kami bisa melihat danau kecil yang berada di samping café ini. Tidak ada yang berubah darinya, potongan rambutnya tetap seperti dulu, rambut dengan potongan lima centinya. Gaya berpakaiannya masih sama, jeans dan kaos oblong.

“Hai …. Sisca.” Riki melambaikan tanganya kearah saya.

“Hai …. “ tiba-tiba jantung saya berdegup kencang. Huh … kembali saya alami rasa ini. “Maaf … sudah membuatmu menunggu.”

Saya mencoba mengedalikan perasaan saya, saya tidak mau terlihat canggung di depannya. Riki menceritakan semua kisahnya pada saya, dia pun menjelaskan kenapa empat tahun yang lalu tiba-tiba dia meninggalkan saya. Tidak masuk akal, namun dapat saya terima.

“Sisca … saya masih menyayangimu.”

Seketika degup jantung saya terasa berhenti, nafas saya terasa sesak. Dan saya tetap berusaha mengendalikan perasaan saya sendiri.

“Saya pun begitu … “ namun kata-kata saya hanya di dalam hati, saya tidak berani mengungkapkanya.

“Tapi … Rik, ini gak mungkin, kita sudah sama-sama mempunyai kehidupan masing-masing. Kamu dengan istri dan kedua anakmu, sementara saya dengan suami saya.” Ya … Kami sama-sama sudah berkeluarga, namun saya yang sudah setahun menikah belum juga di karuniai seorang momongan.

Sakit rasanya ketika saya mengetahui Riki sudah memiliki dua orang anak, dia bilang dia tidak begitu mencintai istri pilihan orang tuanya. Tapi, kenapa dua anak itu bisa lahir dari rahin istrinya. Lelaki memang seperti itu. Tidak mencintai, namun tetap di gauli. Bajingan.

Sejenak kami berdua hanya terdiam, sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Terlintas di benak saya, untuk menjadikan Riki sebagai pria simpanan saya. Semoga Riki juga berfikir seperti itu, mau menjadikan saya sebagai wanita simpanannya. Dengan begitu kami akan membuat kesepakatan untuk sama-sama serong, menghianati pasangan kami masing-masing. Dan hanya kami berdua yang tau. Cukup kami berdua saja.



_____

Jakarta, 150208, mendengar curahanhatinya

Minggu, 03 Februari 2008

Warung kopi

“Ora turu Jeng Ayu?”

“Mengko disit, tanggung” wanita paruh baya itu masih asik dengan kegiatan rutinnya.

“Tanggung opo?” Tanya pria itu lagi.

Hari sudah larut malam, wanita paruh baya yang biasa di panggil Jeng Ayu, terlihat makin sibuk saja. Sibuk merapikan warung kopi miliknya. Jeng Ayu, sudah cukup lama membuka usaha warung kopi. Tepatnya sejak suaminya pergi meninggalkannya begitu saja. Maka sejak saat itu jeng Ayu bergantung hidup pada warung kopinya.

Bisa dibilang kalau Jeng Ayu adalah janda semok, meski usianya sudah tak muda lagi namun penampilanya tetap oke punya. Jeng ayu ditinggalkan oleh suaminya lantaran Jeng Ayu divonis mandul oleh dokter, sementara suami Jeng Ayu yaitu Mas Kirman sangat ingin mempunyai anak, dan saat itu tanpa pertimbangan dengan Istrinya Mas Kirman menikah lagi dengan seorang gadis. Karena merasa harga dirinya diinjak-injak maka Jeng Ayu pun meminta untuk di ceraikan saja.

“Iki loh Mas, aku lagi ngitung setoran lonte-lonteku,” Selain usaha warung kopi, Jeng Ayu pun memiliki usaha sampingan “Untuk sekedar nemenin minum kopi kok Mas” begitu alasanya ketika di tanya kenapa ia berbisnis sewa-menyewa lonte.

“Hihihi ….. piye, rame usahamu Jeng?” Mas Bowo, pria yang keseharianya bekerja sebagai mandor ini sering sekali mampir ke warung kopi jeng Ayu, bisa dibilang dia adalah langganan tetap warung kopi Jeng Ayu.

“Ya … begitulah Mas, namanya juga usaha” Jawab Jeng Ayu dengan logat Jawanya yang cukup kental.

“Siipp lah Jeng.”

“Sampeyan arep sewa lonteku Mas?” Jeng Ayu mulai mendagangkan lontenya, sebenarnya tidak setiap malam Jeng Ayu menawarkan lonte-lontenya, karena setiap orang yang datang ke warung kopinya dengan sendirinya akan menyewa salah satu lonte milik Jeng Ayu.

“Weh … asih ono toh Jeng?” Jawab pria yang berperawakan tinggi besar

“Ya .. ono toh Mas” Jawab Jeng ayu semangat. Biasanya sih kalau sudah larut begini lonte jeng Ayu sudah terboking semua, tapi entah ada apa malam ini, lontenya masih ada yang berdiam diri di markas, belum ada yang minat untuk menyewanya.

“Pesen siji ono ?” Pria itu menyodorkan cangkir kopinya yang sudah kosong.

“Ya ono toh Mas, ono telu sampean pilih dewe. Sa’karepmu?” Jeng Ayu memanggil ketiga lontenya, yang sejak tadi belum ada yang minat untuk menyewanya.

“Wah … tenan iki Jeng?”

“Ya … tenan toh Mas, sampean ta’ kasih diskon.” Mas Bowo memang belum pernah sama sekali menyewa lonte milik Jeng Ayu “Terlalu ranum Jeng, aku ra’ tega” begitu alasan Mandor itu ketika di tawarkan lonte milik Jeng Ayu.

“Sampean pilih saja, sa’karepmu. Ono sing klop, ya wis langsung boyong …. hahhahahah” Jeng Ayu tertawa lepas, sementara ketiga lontenya harap-harap cemas (berharap semoga di pilih oleh Mas Bowo dan cemas bila tak terpilih, karena nanti bisa kena semprot oleh Jeng Ayu).

“Hmmm ….” Gumam Mas bowo sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Jeng, gimana kalau aku sewa kamu saja malam ini,” Mas Bowo kembali mencoba menggoda Jeng Ayu. Sebenarnya Mas Bowo sangat menaruh hati pada Jeng Ayu, dia juga pernah mengungkapkan isi hatinya pada Jeng Ayu.

“Aku tresno karo sampeyaan Jeng Ayu”

“Huh … ra’ sudi aku Mas, sampean wis duwe bojo, anak banyak. Moh aku” Jawab Jeng Ayu saat itu.

“Sembarangan sampeyan Mas, aku ini dudu lonte, aku ini germo, sebagai germo aku ora oleh nyerobot lahan lonteku” jawab Jeng Ayu seraya mencibir ke aarh Mas Bowo.

“Ya … sekali-kali ra’ popo lah Jeng”

“Ora … Emoh aku!”

“Ya wis Mas, sampean pilih saja, tuh lonteku sudah nunggu, aku tinggal kedalem dulu” Jeng Ayu masuk ke dalam rumah sambil membawa kotak uang hasil setoran beberapa lontenya yang sudah balik kandang.

“Arep turu Jeng?” Mas Bowo sedikit membuntuti Jeng Ayu kedalam rumahnya.

“Dudu … aku arep sembayang”

“Sembayang opo toh Jeng, tengah malem begini”

“Sembayang tahajud, arep mohon ampun karo gusti Allah. Oh iya Mas, nanti kalau sudah pilih lonteku, jangan lupa kasih dia tips yang banyak …. hahhahahha” Jeng Ayu segera menutup pintu kamarnya.

Kamis, 24 Januari 2008

Duh, senangnya akhirnya cerpenku masuk resensi di acara Perkosakata2008. Buat Mbak Amalia Suryani makasih banyak yak ^_^


____________________

Oleh Amalia Suryani


Daya tarik LONTE adalah si penulis tidak menjelaskan apa itu “lonte” pada pembaca sampai akhir cerita. Pembaca dipaksa untuk menerjemahkan sendiri (bagi yang belum tahu istilah lonte) dan dibuat penasaran (bagi yang sudah tahu) bagaimana si penulis akan mendefinisikannya.

Cerita ini lucu. Ada fakta-fakta tersembunyi yang sangat menarik. Saya sih tidak tahu fakta itu sengaja dibuat samar atau sebenarnya tidak ada artinya. Yang jelas menurut saya menarik sekali.

Pertama. Fakta bahwa tokoh Ririn mendapat istilah “lonte” dari ayahnya. Kenapa ayahnya menyebutkan kata “lonte” di depan anaknya? Sengaja atau tidak?

Kedua. Si Ayah mengucapkan “kamu lonte, dasar anak lonte!”. Yang ini juga menarik sebab sepertinya menjelaskan alasan tidak adanya karakter Ibu di cerita ini. Jangan-jangan memang ibu Ririn memang seorang lonte.

Ketiga. Penulis tidak terburu-buru menjelaskan arti “lonte” untuk pembaca. Saat Ririn bertanya pada teman-temannya, penulis tetap bertahan tidak membeberkan definisi “lonte” dengan mudahnya. Bahkan Ibu Guru juga tidak berbaik hati memberitahu Ririn apa itu “lonte”, dan tidak repot-repot melarang Ririn menyebut dirinya “lonte”. Dengan lugunya, Ririn dibiarkan mengartikan sendiri “lonte” menurut pemahamannya sebagai anak umur enam tahun.

Kalau diminta menyebutkan kelemahan cerita ini, saya terpaksa bilang agak kecewa saja dengan ending-nya. Bukan karena masih tidak terpapar apa itu “lonte”, tapi karena kejadian Ririn memanggil seorang perempuan seksi dengan sebutan “lonte”. Padahal sebelumnya Ririn mengartikan “lonte” sebagai senyum manis, sementara Kakak Seksi tidak digambarkan sebagai orang yang manis, melainkan seksi.

Sepertinya cerita ini bakal lebih menarik kalau Ririn menyebut seorang Kakak Manis dengan sebutan “lonte”, hingga si Kakak Manis tersinggung dan terluka hatinya dikatai “lonte” oleh seorang anak kecil.

___________________

Amalia pernah menyandang Penulis Berbakat Lomba Teenlit writer 2005. Sejak saat itu ia telah mengeluarkan 3 novel teenlit yang semuanya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yaitu Being 17, Rival, 100 jam dan dua buah cerpennya yang masuk dalam kumpulan cerpen teenlit GPU: Idolamu? Itu aku!

Rabu, 09 Januari 2008

Untuk Emak




Iseng coba bikin 100 kata. berhasil gak yak ?


__________

“Maamaad ... !”

“Iya .. Mak”

“Sedang apa kau?” Emak Mamad cemas, sejak siang tadi Mamad tak juga keluar dari kamarnya

“Lagi tidur Mak”

“Macam mana pula kau ini, kau bilang sedang tidur, tapi kau bersuara”

“Upss .... “ Mamad menutup mulutnya. Lalu cekikikan sendiri

Hari ini Emak Mamad ulang tahun yang ke 40. Dan sore nanti ia berniat akan memberikan kado buat Emaknya tercinta.

****

“Mak .... selamat ulang tahun yak Mak”

“Kau memang anak Emak yang baik”

Mamad menyuruh Emaknya memejamkan mata. Dengan riang Mamad yang masih berusia enam tahun bernyanyi.

..... Roda empat buatanku sendiri, dari kulit buah jeruk Bali ...

Emak terharu, Mamad pun tersipu

Kamis, 03 Januari 2008

Kolab lagi ama Mirza Kacrut (seri Jono - Mamad ke 2)... lanjooot Mad, kita bikin lagi

________________

Seperti biasa, setiap sorenya Jono dan Mamad rutin bermain sepakbola di lapangan balong. Ya. Meskipun akhirnya Mamad hanya duduk di pinggir lapangan sambil menyaksikan kelihaian Jono beraksi di lapangan, memainkan bola.

“Maaaaaadd ... ayook dong main bola!!” teriak Jono dari ditengah lapangan, sambil tetap berkelit memainkan bola di kakinya dengan tangkas.

“Ogah ..ah ! Gak mau, lagih nanggung makan kuacinye” Teriak Mamad di pinggir lapangan. Mamad emang tidak terlalu hobi bermain bola, alasannya sih karena badanya terlalu gemuk dan bulat. Padahal memang pada dasarnya Mamad malas bergerak lebih cepat dari kunyahan mulutnya. Tetapi sebenarnya Mamad pernah mencoba untuk ikut bermain bola bersama Jono dan teman-teman yang lain. Malangnya, ditengah permainan yang seru, Jono tidak sengaja menendang bokong Mamad karena salah mengira bokong itu sebagai bola (bentuknya sama-sama bulat siy). Kontan Mamad marah dan mengamuk sejadi-jadinya karena bokongnya sakit, dan terutama karena merasa dilecehkan oleh sahabatnya. “Masa pantat seksi gini elo kirain bola?!” Mamad mencoba protes atas perlakuan Jono yang tidak pantas. Sejak itulah Mamad selalu menolak setiap Jono mengajaknya bermain bola di lapangan balong.

Karena merasa tak berhasil membujuk sahabatnya untuk menemaninya bermain bola, Jono akhirnya melanjutkan bermain bola di lapangan, sementara Mamad masih berkutat mengupasi kulit kuaci rasa melon yang dibeli di warung mak Ijah.

**_**

Waktu sudah semakin sore, dan anak – anak yang bermain di lapangan balong mulai terlihat letih. Satu persatu anak – anak itu meninggalkan lapangan menuju ke pinggir atau langsung pulang ke rumah masing – masing.

“Mad, bagi es limunnye yeeh?!”, Jono menyapa sahabatnya dengan napas yang masih tersengal-sengal karena bermain bola sepanjang siang.

“Jaaahh … gue juga baru nyedot Jon!!,” Mamad berusaha mempertahankan plastik berisi es limunnya.

“Huuuu … bilang ajah elo kagak mao ngebagi gue ..dasar peliit!,” Jono mempertontonkan bibir monyong yang seksinya melebihi artis lenong ibukota.

Ketika kedua sahabat itu sedang berdebat tentang es limun milik Mamad, tiba – tiba, entah mencungul dari mana, seorang gadis cilik dengan potongan rambut ala tokoh kartun, berdiri di depan kedua sahabat itu.

“Bang Jono, ada surat dari Mbak Warmi niy,”anak gadis tersebut menyerahkan amplop berwarna pink dengan gambar hati, lalu berlari terburu-buru sambil tertawa cekikikan kayak kuntilanak dikitikin. Jono kontan langsung melongo menerima surat itu, dan langsung shock melihat kata yang tertulis di depan amplop tersebut.

“Buat : Aa’ Marjono Bechkam ; Dari : neng Warmi Sumarwi.”

Sebenarnya nama panjang Jono adalah Marjono Suparjo. Namun belakangan ini Jono mengganti nama belakangnya menjadi Bechkam, yang tak lain adalah idola Jono. “Biar keren” ini juga salah satu alasanya mengganti nama belakangnya.

Mamad, yang IQ-nya padat meratap, malah ikutan bengong lalu memandangi wajah sahabatnya yang masih mematung dan terlihat pucat, seperti orang yang mendapat kabar bahwa Kiamat Sudah Dekat.

“Huuaaaa….”, tiba-tiba Mamad meraung seperti baru menemukan harta karun.

“Apaan si lo badak bengkak…bikin gue kaget aje”, Jono, terdengar sewot karena terkejut mendengar raungan Mamad.

“kayaknya elo baru aje dapet surat cinta Jon,” sahut Mamad, dengan lagak seperti detektif satwa.

“Aa..ahh, masa’ siy Mad?!” Jono berusaha menutupi perasaan bingung dan gelisahnya.

Saat kedua sahabat itu masih berusaha mencari tahu maksud dan tujuan serta sasaran dari surat yang sekarang ada dalam genggaman Jono, tiba-tiba, anak kecil ketawanya mirip kuntilanak tadi mencungul kembali dari belakang mereka.

“Ooo…iyah Bang Jono, kata Mbak Warmi, balesannya ditunggu secepetnya yah!” lalu si bocah berambut Dora itu kembali cekikikan sambil berlari. Kedua sahabat itu kembali terbengong, dengan wajah mirip kuda keselek kuaci rasa durian.

**_**

Sore hari. Seperti biasa Mamad berjalan ke lapangan balong. Mamad terlihat celingukan di warung Mak Ijah, seperti mencari sesuatu. Rupanya dia sedang mencari sosok sahabatnya, Jono, yang rupanya tidak terlihat ikut bermain di lapangan balong sore ini. Mamad terlihat berpikir, dan dia baru sadar kalau Jono pun tidak sekolah pagi ini. Ada apa sebenarnya dengan Jono??

Rupanya Jono sedang terbaring lemah di atas tempat tidur, di rumahnya. Tampak Ibunda Jono memeras kain untuk mengompres, yang sebelumnya direndam dalam air hangat.

“Piye iki Jon .. Jon, kok bisa-bisanya kamu demam?!” Ibunda Jono tampak tenang menempatkan kain kompres ke jidat Jono yang seluas lapangan balong. Bahasa kerenya bias di bilang kalu jidatnya Jono itu jenong.

“Hmmm..ehmm,” Jono menggumam sambil menggeliat lemas, dengan wajah yang terlihat semakin pucat.

Tok .. Tok .. Tok .. preett, (Preett … kurang lebih seperti itulah bunyinya bila pintu rumah Jono di buka sedekit. Maklum sudah agak rapuh kayunya) tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketuk. Ibunda Jono langsung beranjak dari tempat tidur anaknya, dan berlalu untuk melihat tamu yang datang.

“Ooohhh kamu Mad, masuklah..!,” Ibunda Jono terlihat lega, melihat ternyata tamu yang datang adalah Mamad. Bukan tukang kredit panci.

“Jono kenape Bu’? kok kagak masup sekolah trus kagak kliatan maen bola di balong??”, Mamad terdengar khawatir dan bernafsu mencari tahu kabar sahabatnya itu.

“gak pa pa kok Mad, cuma demam biasa ajah,” Ibunda Jono berusaha menenangkan Mamad yang terlihat semakin resah dan siap-siap nyeruduk kayak banteng liar. “Oooo .. gitu bu, kirain si Jono kena herpes lagih.”

“Tumben elo bisa sakit Jon, gue kirain penyakit takut ngeliat tampilan elo yang gak bergizi”, Mamad nyengir dudulz di samping tubuh Jono.

“Rese lo Mad, perut gue mules, pala puyeng, badan lemes, kantong kosong, pokoknye parah daah Mad,” Jono berkeluh kesah di hadapan sahabat baiknya.

“Oooo..bukannya emang kantong elo udah biasa kosong Jon??” Mamad menimpali obrolan anehnya Jono. Biasa kalau lagi kumat sakitnya si Jono emang suka rada ngaco.

“Jadi sebenernya kenape elo bisa sampe kacau begini siy Jon?”

“Gue juga kagak ngarti Mad .. abiiisss…gue kan emang gak nyangka bakal ampe kek begini”

“Laaaahh … emang elo sakitnye gara-gara apaan Jon?”

“Naaaahh … itu die maksud gue Mad … maksud gue itu die … die itu gue maksud”

“Ngomong yang bener kecoak cungkring!!! Gue kagak ngarti elo ngomong apaan!!!” Mamad mulai senewen. Tanpa sengaja di toyornya kepala Jono yang masih pusing.

Jono terlihat terdiam, dengan wajah bersemu seperti tomat dikasih bedak. “Gue gak nyangka ajah dapet surat dari si Warmi,” Jono berbisik dengan suara mirip tikus kejepit rolling door.

“Huakakakakakak…kakkak,” Mamad ketawa ampe gegulingan sambil memagangi perut buncitnya yang geyal-geyol. Dengan sigap Jono melempar (lebih tepat menyambit kali ye?!) sepatu bola kearah Mamad.

**_**

Besoknya Jono terlihat kembali mengikuti pelajaran di sekolahnya. Tapi entah kenapa, dari sejak mulainya pelajaran pertama, sampai waktunya istirahat, Jono terlihat resah dan gelisah.

“Elo kebelet pipis yah Jon?” Mamad terlihat bingung melihat kegelisahan sahabatnya.

“Huwaaaa …, dasar badak bengkak!! Bikin gue kaget ajah!!” Jono melompat kaget, dan berusaha menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Mamad yang curiga semakin penasaran melihat kelakuan sahabatnya, yang semakin aneh.

“Tangan elo kenapa ada di belakang Jon?” Mamad bertanya dengan nada menyelidik, yang sepertinya makin membuat Jono gusar.

“kagak ape-ape Mad, emang kenape?! Tumben pake nanya segala,” Jono berusaha menutupi kegelisahannya, tapi malah justru terlihat makin mencurigakan. Lalu tiba-tiba Mamad bergerak cepat, s ke belakang Jono.

“Cieeeeeee …. amplop apaan tuuh Jon??” Mamad terlihat sangat terkejut menemukan sebuah amplop di tangan Jono.

“Sstttt..jangan berisik!! Dasar gajah bunting!!” Jono berusaha menutupi mulut sahabatnya itu dengan tangannya, lalu menyeretnya ke depan WC.

“Elo jangan bilang sapa-sapa yeah Mad!?” lalu Mamad yang sudah terpojok ke tembok, hanya mampu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Gue udah bikin surat balesan buat si Warmi, semaleman begadang ampe mata gue mlintir,” Jono menjelaskan dengan nafas yang semakin cepat, seperti habis dikejar bencong ganas, yang suka mangkal di perempatan lampu merah.

“Ooooo..ooo,” Mamad hanya membulatkan bibirnya, mendengarkan penjelasan sahabatnya itu. Jono terlihat semakin stress melihat tanggapan Mamad, dan mulai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya udah aahhh!” Kekesalan Jono memuncak dan meninggalkan Mamad yang bengong di depan WC.

**_**

“Pokoknye sekarang gue kudu ngasih surat ini ke si Warmi”, Jono berteriak lantang dalam hati.

Matanya terlihat berkeliling celingak-celinguk kayak cecunguk, dan Jono terlihat semakin bingung, karena tidak menemukan Warmi di penjuru kantin.

“Lagih ngapain Mas Jono??”, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang Jono, dengan logat jawa yang kental.

“Eeehhh…Warmi, kirain sapa,” Jono berusaha menampilkan senyumnya yang paling manis, tapi akhirnya malah seperti orang meringis.

“Mi, ini buat elo,” tiba-tiba Jono mendapatkan dorongan keberanian untuk menyerahkan amplop surat yang tadi ada di tangannya. Warmi hanya terdiam, lalu seperti terpaku memandangi amplop berwarna biru, dengan tulisan “Buat : Warmi”.

“Siallll..mending gue lari-larian sambil telanjang deeehh daripada suruh ngulang itu lagih…” Jono berteriak dalam hati sambil berjalan dengan terburu-buru ke dalam kelas.

bruk .. gedubrak .. meoong tiba-tiba Jono menabrak seseorang, yang ternyata adalah Mamad. “Sialan, gue kirain ditabrak tiang bendera, gak tau nya elo Jon,” Mamad terlihat lega karena ternyata yang menabraknya adalah Jono. Sebelum Mamad bertanya lebih lanjut, Jono langsung melotot dan malah bergegas ke ruang kelas. Mamad terheran, lalu langsung mengejarnya sambil teriak-teriak memanggil nama Jono. Lagak si Mamad udah kayak fans yang mau minta tanda tangan sama artis beken.

“Elo kenape lagih siy Jon??”

“Kagak ape-ape” Jawab Jono datar tanpa ekspresi sama sekali.

“Kagak ape-ape?! Palelo bejedar kagak ape-ape, tadi elo nyeret gue ke dapan WC, sekarang elo nabrak gue trus ngabur kek kecoak dapur,” Mamad nyerocos seperti knalpot kendaraan dewa (baca : Bajaj), sementara Jono hanya menundukkan kepalanya.

“Gue udah ngasih suratnya ke si Warmi, Mad,” Jono terdengar lirih, dan suaranya mirip orang yang hampir menangis.

Mamad langsung bengong.

**_**

Ketika sudah waktunya Jono dan Mamad terlihat terburu-buru ke taman sekolah, bukannya justru ke arah gerbang. “gimane kalo ampe die kagak dateng yeh Mad?!” terdengar dari nada suaranya, Jono sudah berada di batas ambang kegelisahannya.

“Tenang aje, si Warmi pasti dateng!” Mamad berusaha menenangkan sahabatnya, yang justru terlihat makin tegang.

Tiba-tiba muncul sosok Warmi dari ujung koridor sekolah, sepertinya baru keluar dari kamar mandi. “waduh itu die si Warmi nye Jon” Mamad menunjuk ke arah Warmi, lalu perlahan Jono memutar lehernya menuju arah yang ditunjuk Mamad. Tiba-tiba Jono memutar kepalanya ke arah semula dengan cepat, sebelum sempet melihat sosok Warmi.

“Si Warmi ke arah sini gak Mad?” Jono berbisik ke Mamad, sambil menyenggol-nyenggol pinggul sahabatnya itu. Mamad bukannya menjawab, malah justru menggeliat kegelian Karena pinggulnya di senggol Jono.

“Eh, mas Jono udah nungguin. Udah lama yah ?,” Warmi menyapa Jono dengan ramah, sementara Jono sibuk mendorong Mamad untuk menjauhi dari tempat itu, namun Mamad bersikeras untuk terus berada di samping Jono.

“Loohh kenapa mas Jono?! Kok mas Mamadnya didorong?” Warmi kebingungan melihat tingkah aneh kedua sahabat itu.

“Eehh gak pa pa Mi, si Mamad udah mao pulang kok,” Jono berusaha tersenyum dan terdengar ramah, sementara masih berusaha mendorong Mamad yang segede bagong.

“Ooo gitu, tapi kok mas Mamadnya di dorong??” Warmi tetap penasaran karena melihat pergulatan Mamad dan Jono malah semakin seru.

“Eh .. gak kok Mi. Beneran, siy Mamad udah mao pulang kok,” Jono kembali tersenyum kepada Warmi, karena akhirnya Mamad menyerah dan beranjak pergi dari tempat itu.

Sekarang tinggallah Jono berdua saja dengan Warmi. Tapi dari kejauhan, Mamad malah berbelok ke arah semak-semak tak jauh dari tempat ngobrol Jono.

“Udah di baca suratnya?” Jono terdengar kaku dan gugup, dan seperti orang yang sedang sembelit.

“Udah kok mas,” Warmi terlihat menunduk tersipu. Jono yang melihat gelagat aneh dari Warmi justru malah semakin gelisah.

“Tapi … ” Warmi tidak meneruskan kalimatnya. Jono terlihat tegang menunggu kalimat itu diteruskan.

“Maafin Warmi yah mas, Warmi gak jadi deh mau jadi pacarnya mas Jono,” Jono langsung melongo dan terlihat sangat bodoh.

Mereka berpisah di depan gerbang. Jono belok ke kiri, sementara Warmi langsung menaiki becak yang mangkal di depan sekolah. Dengan wajah yang kusut, Jono menyeret langkahnya yang berat, seolah kedua kakinya itu diganduli sebuah bola besi (seperti tahanan jaman dulu).

“Gimana hasilnya Jon??” tiba-tiba Mamad muncul sambil merangkul pundaknya, tapi Jono hanya mendesah.

“Muke-mukenye kena apes niy. Jon, kagak ape-ape, masih banyak cewek laen di dunia.” Mamad berusaha menghibur sahabatnya dengan cara-cara yang (sok) bijaksana.

“Bukan itu Mad, gue siy gak masalah ditolak… cuma alesannya itu looh yang gue kagak terima..” Jono terdengar semangat, tapi langsung sendu lagi.

Sebenarnya Jono agak kesal juga dengan si Warmi, awalnya kan si Warmi yang yang bilang suka duluan lewat suratnya yang berwarna pink itu. Tapi kenapa setelah di balas dan Jono bilang “Iya” eh .. si Warmi malah bilang gak jadi.

“Emang alesannye apaan Jon??” Mamad bertanya kembali dengan nada penasaran.

“Die malu kalo pacaran ma gue Mad, karena gue belom sunat!!” lalu hening.

“Buseeett … si warmi tengil amat, Cuma gara-gara lu belum sunat aja dia batalin jatuh cinta ama lo Jon. Bener-bener tu si Warmi !, lagaknya udah kayak anak gede aja, padahal pan die baru baru kelas empat, beda satu tingkat ama elu Jon.

“Tau tuh …. Rese ! malu-maluin gue aja” Jono makin kesal karena sudah dua kali ini dirinya di permalukan lantaran dia belum juga mau sunat sampai saat ini.

“Hehehe …. Sabar Jon. Lo juga sih, Makanya ……….. “ Mamad menggantung kalimatnya

“Berisik lo Mad!” Jono makin senewen, dia tau apa maksud kalimat Mamad tadi.

Heeyyy … Sunatan Masal .. aha ..aha, Mamad langsung bersenandung, lalu berlari. Dia takut kalau Jono ngamuk bisa gawat. Sebab Jono rada sensi dengan syair yang di nyanyikan Mamad.