Minggu, 18 Mei 2008

Membaca Puisi

Malam ini ada acara pentas seni, salah satu acaranya adalah membaca cerita mini. Saya tertarik dan ikut mengamati acara itu dari sini.

“Gadis itu cantik,” kata salah satu juri yang mengenakan safari

“Iya, namanya Sari. Dia cucunya Pak Rudi.” Saya mendengar percakapan juri, karena saya berdiri persis di belakang juri.

“ Oooo begitu, dia membaca cerita mini atau puisi ?” Tanya juri bersafari.

“Cerita mini lah, ini kan bukan lomba baca puisi.”

“Hhhmmmm …. Tetapi kenapa terdengar seperti sedang membaca puisi ?”

“Dia cucunya Pak Rudi yang memberi donasi untuk acara ini.” Jawab Pak RT yang juga menjadi Juri.

“Lantas …?” lagi-lagi tanya juri bersafari.

Pak RT mengerlingkan mata, seolah memberi tanda. “ Ya … baiklah,” Juri bersafari kini mengerti.

Saya di sini jadi menggerutu sendiri, baca cerita mini kok seperti membaca puisi. Dan … aaahhh sial ternyata si Sari mendapat nilai paling tinggi.

Sabtu, 12 April 2008

Kata Bapak

Kata Bapak “Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.”

Sudah tiga bulan ini Bapak menganggur, dan sejak saat itu kerjaan Bapak cuma luntang lantung gak jelas. Saya sebagai anak pertama merasa harus membantu Bapak, makanya setiap pulang sekolah saya mencari uang dengan mengamen di lampu merah. Emak saya menjadi kuli cuci, sedangkan adik-adik saya masih kecil.

Becak Bapak di sita oleh Pak Polisi, katanya Bapak melanggar peraturan lalu lintas “Anda gak lihat di tiang depan sana ada gambar becak di larang masuk di area sini?!” begitu kata Pak Polisi, suaranya keras, dan matanya pun sambil melotot. Sejak saat itu saya benci dengan orang yang beseragam coklat itu, saya benci karena dia telah mengambil becak Bapak, dan saya benci karena Pak Polisi membentak Bapak di depan saya. Saya masih ingat nama Pak Polisi itu, dan saya berjanji kalau nanti saya punya uang saya akan mengambil becak Bapak, dan tidak lupa saya akan menonjok perut Pak Polisi yang buncit itu.

Malam itu lagi-lagi Bapak bilang “Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.” Saya tesenyum sambil memijat-mijat pundak Bapak. “Iya Pak” jawab saya. Sementara Emak saya sibuk membuat air tajin untuk adik bayi saya.

“Tidurlah, besok sekolahkan?”

“Iya Pak.”

“Tenang saja, besok beban hidup kita akan berkurang.” Ucap Bapak sambil tersenyum datar.

“Besok Bapak, sudah bekerja lagi?” tanya Emak, yang masih sibuk dengan air tajin untuk adik bayi. Bapak tidak menjawab, Bapak hanya tersenyum.

Malam itu saya tertidur dengan pulas. Sedangkan Emak, ah ... dia masih sibuk dengan pekerjaan rumah, sementara Bapak, dia sedang asik memainkan handuk kecilnya yang selalu setia menemaninya ketika sedang menarik becak.

_______

Pagi ini saya lihat bapak sudah tidak ada di rumah, saya tanya Emak dia pun tidak tahu kemana perginya Bapak.

“Mungkin Bapakmu lagi cari pekerjaan Le, atau mungkin Bapakmu sudah kerja lagi. Sudah sana berangkat sekolah.”

“Iya Mak.” Pagi ini saya ceria sekali, karena kalau memang benar Bapak sudah bekerja lagi, artinya saya tidak perlu mengamen di lampu merah.

Cuaca pagi ini agak mendung, makanya saya buru-buru pergi kesekolah. Tapi di lampu merah tempat biasa saya mengamen ramai sekali dengan orang-orang, di sana juga ada beberapa orang yang berseragam coklat.

Karena saya penasaran akhirnya saya memutuskan untuk melihat apa yang sedang terjadi di sana. Orang di sebelah saya bilang katanya ada orang yang mau bunuh diri dari tiang lampu lalu lintas yang tingginya mencapai tujuh meter. Tiang lampu lalu lintas itu berada tidak jauh dari tiang yang berlambang becak yang di coret. Saya semakin penasaran, dan saya mencoba untuk menerobos kerumunan orang-orang.

Dan betapa kagetnya saya, di sana terbujur tubuh Bapak, dia merintih kesakitan sembil mencoba menggerakan kakinya. Saya rasa kaki Bapak patah. Sambil kesakitan, Bapak masih sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya.

“Hidup itu harus di jalanin, seberat dan sesusah apapun. Jangan mengeluh dan merepotkan orang lain.” kembali terngiang perkataan Bapak.

Kamis, 03 April 2008

Papa Baru

“Enggak Mama ... Aku gak mau punya Papa baru!” Ananda berteriak kencang, saat Mamanya hendak pergi kencan dengan salah satu teman laki-lakinya.

“Sayang ... memangnya siapa yang mau cariin kamu Papa baru? Mama cuma mau pergi makan malam dengan teman lama Mama kok.” Sang Mama mencoba menerangkan dengan lemah lembut.

Ananda, seorang bocah berusia enam tahun. Saat ini ia duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Sebagai anak satu-satunya, Ananda kerap sekali bersikap manja kepada siapa saja, terlebih saat Papa KD tak pernah lagi kembali ke rumah. Konon kabarnya Papa KD dipindahtugaskan ke daerah pelosok. Sebagai prajurit yang berbakti, Papa KD pun menerima tugas itu dengan senang hati. Dan Mama Nisa yang baik hati pun dengan ikhlas merelakan Papa KD bertugas diplosok desa.

“Kalau begitu aku ikut!”

“Jangan sayang, Mamakan pergi dengan teman-teman Mama. Memangnya kamu mau ngobrol bareng dengan orang tua?” Mama Nisa tersenyum manis, ketika melihat anak semata wayangnya mulai merajuk.

“Iya Nanda, kamu di rumah saja dengan Om Dadun ya, nanti Om Dadun beliin es cream deh.” Om Dadun ikutan merayu.

Om Dadun adalah adik dari Mama Nisa, sudah dua bulan ini ia tinggal di rumah Mama Nisa. Sebenarnya Mama Nisa sudah sejak lama meminta Om Dadun untuk tinggal dengannya, namun Om Dadun tetap bersikeras tinggal di kampung bersama Nenek. Maklum saja Om Dadun ini orangnya super lugu, pemalu tapi dia pandai menulis lagu, sudah banyak lagu yang dibuat oleh Om Dadun, namun sayangnya tak satupun yang ia orbitkan “Malu ah, aku gak pede” selalu itu yang mejadi alasanya. Tapi anehnya meskipun Om Dadun orangnya pemalu, ketika di suruh bergaya di depan camera, Om Dadun mampu bergaya dengan pede dan narsis.

“Ok ... sayang, Mama pergi dulu ya,” Mama Nisa lalu mengecup kening anaknya yang imut-imut alias item mutlak, lalu dengan sedikit berlari Mama Nisa segera masuk ke dalam mobilnya. “Dadun ... jaga Ananda baik-baik ya!” teriak Mama sebelum mobilnya melaju.

Dan akhirnya, Malam Minggu ini lagi-lagi Ananda hanya ditinggal berdua dengan Omnya.

“Om, aku curiga. Cuma mau makan malam aja kok Mama dandannya rapih banget ya, wanginya minta ampun, aku sampai mau pingsan nyium bau parfum Mama.”

“Ya ... Mamakan mau pergi dengan temannya, kalau Mamamu gak rapih dan wangi nanti apa kata teman Mama. Ih ... Mamanya Ananda bau. Kamu mau Mamamu dibilang bau?” Om Dadun yang lugu dan kutu buku mulai membuka buku bacaanya.

“Ya ... enggalah Om. Mamaku kan cantik, Papa KD aja yang gak pernah nyadar, masa anak semanis aku dan istri secantik Mama Nisa di terlantarkan seperti ini. Papa KD jahat, dia lebih memelih tinggal di desa, dari pada di sini.” Lagi-lagi Ananda merajuk. Sementara Om Dadun hanya tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya yang super tebal.

Kalau sudah sibuk membaca, Om Dadun pasti gak akan bisa diganggu, dan kalau sudah begini, Ananda males untuk dekat-dekat dengan Omnya.
*****

Karena merasa bete, Ananda pun masuk kedalam kamar Mamanya, lalu ia pun merebahkkan tubuh mungilnya di atas kasur empuk milik Mama.

“Ah ... Papa, kok Papa KD gak pulang-pulang sih. Gak pernah telpon aku lagi, Papa sudah lupa ya dengan aku?” Ananda berbicara sendiri di kamar Mamanya sambil menatap foto Papa KD yang tampak perkasa denga seragam prajuritnya.

Dan tanpa sengaja Ananda menemukan foto yang tergeletak di bawah bantal Mama. Ada dua foto laki-laki. Tidak terlalu tampan tapi juga tidak jelek, hanya agak tua saja. Ananda mengamati kedua foto itu, sambil berfikir, mengapa foto ini ada di bawah bantal Mama. Ananda mencoba mengingat, siapa laki-laki yang ada di foto ini.

“Oh ... iya, aku ingat ini kan foto Om Amri yang mandor bangunan. Dan ini, bukanya foto Om Imrul yang punya distro? Lalu kenapa foto-foto ini ada sama Mama, atau jangan-jangan ..... “

“Om .... Daduuuuuuuuuuuunnn ....!!!”

________