Senin, 17 Desember 2007

Warung Kopi



"Habis intip-intip Blognya Dewi Lestari, jadi bikin cerita gak jelas begini (ceritanya terispirasi sama salah satu tulisanya, tapi sayanya gak bisa ngembangin inspirasi itu). Jadinya cuma begini deh. Tak apa lah"
______

"Apa kabar jeng?" sapanya saat kami janji bertemu untuk sekedar minum kopi bersama.

"Baik" ku balas sapaannya dengan senyum manisku. Lalu cipika cipiki

Kami pun memesan secangkir kopi kapucino, sedikit berinteraksi demi mancairkan suasana. Sudah lama tak bertemu muka.

"Siapa kekasihmu yang sekarang?" pertanyaan ini lagi. Bosan aku

"Balik lagi sama yang dulu." Akhirnya kopi kami pun datang. Nona berparas cantik yang mengantarnya.

"Oooh ya, kenapa balik sama dia?." Bagiku ini pertanyaan bodoh.

"Cinta mati sih" jawabku sambil tertawa. Diminum jeng kopinya

kamipun terhanyut dalam suasana yang sarat dengan canda dan tawa, bertemu teman lama memang menyenangkan.

"Kamu sendiri, bagaimana?" aku balik bertanya, ingin tau juga soal kisah cintanya.

"Kami nyaris hampir menikah" jawabnya datar

"Nyaris ?"

"Ya ... nyaris" Dia tertawa, seolah menertawakan hidupnya sendiri. Dan akupun ikut tertawa, tepatnya menertawakan kebodohanya di masa lalu. ah sudahlah lupakan

Akhirnya kami sepakat untuk tidak menceritakan kisah cinta kami, takut kalau nantinya malah merusak suasana sore ini.

"Btw ... badanmu masih segini-gini aja" dia tertawa terkekeh

"Dari dulu memang begini Non, tak usah heranlah!" kurus salah, gemuk lebih-lebih. terlalu banyak komentar.

"Eh ... aku punya prodak baru loh, hand&body lotion. Bisa memutihkan kulit" Tatapan matanya seperti meledekku.

"Aaah ... aku tidak pernah percaya dengan prodak-prodak pemutih. Kamu tau sendirikan, dari dulu aku pake prodak yang katanya bisa memutihkan dalam waktu enam minggu. Tapi mana buktinya? sudah enam tahun lebih aku pake prodak itu. dan kamu bisa lihat sendiri hasilnya." aku mencari si pelayan yang cantik tadi, dengan maksud ingin memesan kopi lagi. Duh ... candu rupanya.

"Hahahahhaha ..... "Dia tertawa penuh arti

"Sial" gumamku

Pulang dari warung kopi ini, kamipun sepakat untuk menemui si DIA, huehuheuehe

Sabtu, 15 Desember 2007

Randy

"Jam 5 sore di tempat yang sudah kita sepakati"
"Mau kemana?"
"Ikut saja, jangan lupa bawa pakaianmu"

tut .. tut ... telpon terputus.

Hufff ... aku tak mampu berfikir dengan jernih. ku hempaskan tubuhku di atas ranjang, pandanganku pun menarawang jauh. Semua ini membuatku makin pusing.

Aku memang sangat mencintainya, bahkan aku tak ingin jika harus kehilanganya. Dan saat ini aku harus benar-benar punya sikap atas perasaanku ini.

"Kamu jangan gila Sar !" lagi-lagi Rani berkomentar. Rani memang sahabatku yang baik, dia selalu ada saat aku membutuhkanya, selalu memberikan saran-sarannya padakau meski tak jarang aku selalu mengacuhkanya.

"Aku mesti gimana lagi ?" tanyaku datar.

"Kamu sudah terlalu banyak berkorban buat dia, tapi apa yang kamu dapat?" Rani mulai kesal denganku. Hanya karena sifatku yang keras kepala tak jarang aku dan Rani bertengkar.

Rani memang teman yang baik, makanya dia pun layak untuk ku jadikan sahabat. Sifatnya yang agak keibuan terkadang mampu membuatku berfikir dengan sedikit jernih, tapi entah kenapa kali ini aku benar-benar tidak mampu untuk berfikir dengan menggunakan akal sehatku, semua saran yang di berikan Rani sama sekali tidak kujadikana bahan pertimbanganku atau bahkan sekedar perenungan.

"Ran ... mengertilah, aku sangat mencintainya" lagi-lagi aku meminta Rani untuk bisa mengerti keadaan bahkan perasaanku, padahal tanpa ku minta pun Rani sudah pasti mengerti tentang aku.

"Iya ... aku tahu itu" jawab Rani datar.

"Kamu tahu kan Ran, aku sangat ingin selalu ada di sampingnya" perlahan aku tertunduk dan mulai terisak.

Randi ... seorang pria yang biasa saja, dia sudah mampu menyihirku dengan pesonanya. Sudah sangat lama aku mengenalnya, bahkan diam-diam aku mencintainya. Randi tahu akan hal itu, tapi aku sendiri tidak pernah tahu apakah dia juga mencintaiku.

"Tapi Sar, bukankah Randi sering menyakiti perasaanmu" lagi-lagi Rani mengingatkanku akan hal ini.

Ya ... memang benar apa kata Rani, Randi memang sering sekali membuat hatiku terluka, bahkan tak jarang aku di buat menangis atas sikapnya. tapi entah kenapa aku selalu saja bisa memaafkanya. Demi tuhan aku sangat mencintainya.

"Aku ingin bersamanya Ran, mungkin ini saatnya, dan aku yakin ini jawaban atas semua doaku" dengan sedikit tersenyum aku mulai mengemas pakaianku. Tak banyak hanya sekedarnya saja, karena mungkin nanti Randi akan membelikanku pakaian atau lebih dari sekedar pakaian.

"Gila ... kamu sudah benar-benar gila Sar. Kamu sadar gak atas keputusanmu ini? setelah sekian lama Randi pergi begitu saja tanpa mengacuhkanmu sama sekali, dan kini tiba-tiba dia datang dan menyuruhmu untuk ikut denganya" Rani tampak kesal, dengan jelas aku bisa melihat garis kecemasan di wajahnya nan ayu.

"Ran ... percayalah, aku akan baik-baik saja" sekali lagi aku coba untuk meyakinkan Rani atas keputusanku ini.

Jam empat sore, akupun berpamitan dengan Rani, dan akhirnya dengan berat hati Rani membiarkanku pergi dengan orang yang sangat kucinta.

"Hati-hati Sari, terus kabariku tentang keberadaanmu" bisik Rani lirih di telingaku. Aku hanya mengangguk perlahan.

****

Setengah jam sudah aku menunggu Randi di tempat ini, namun tanda-tanda kedatangnya belum juga terlihat.

"Ah .. barangkali dia sedang sibuk mengemas barangnya" aku mecoba berfikir positif, dan membuang jauh fikiran jeleku tentangnya. Demi tuhan aku mencintainya.

Berualangkali ku hubungin ponsel Randi, tapi tak juga di angkatnya. Satu jam sudah aku menunggunya di tempat ini. Oh ... tuhan apakah engkau masih ingin mempermainkan perasaanku.

"Randi .... kenapa dia juga belum datang sampai saat ini, atau dia juga mulai senang mempermainkan perasaanku" hatiku miris, aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Yang pasti aku akan tetap menunggunya disini sampai dia datang dan membawaku pergi bersamanya.