Jumat, 16 November 2007

Emak gak tau sih

Seperti biasanya, semenjak aku sudah tidak bekerja di pabrik, setiap pagi aku membersihkan halaman rumah, dari mulai menyapu, merapikan rumput-rumputnya dan menyirami semua tanaman. Di desa ini aku tinggal bersama Emak dan dua orang adikku, sementara Bapak sudah lama meninggal karena penyakitnya. Emak hanya seorang pedagang sayuran di pasar, kedua adikku, Budi dan Ani mereka masih duduk di bangku SLTP. Rumah kami amat sangat sederhana, tapi kami mempunyai taman yang cukup terawat, di depan rumah aku tanami dengan beberapa macam jenis bunga, sementara di samping dan belakang rumah aku tanami dengan beberapa jenis tanaman buah dan sayur-sayuran.

“Nur, apa kamu benar-benar sudah tidak mau bekerja di pabriknya Pak Samid ?”, tanya Emakku saat kami berdua sedang duduk di teras rumah. Sesaat aku teringat kejadian seminggu yang lalu, saat itu Pak Samid menyuruhku untuk datang keruangannya, dia bilang ada yang mau di bicarakan denganku, yah … sebagai seorang bawahan, aku turuti saja permintaanya tanpa menaruh curiga sama sekali kepadanya. Dan malam itu aku datang ke ruangannya. Pak Samid sangat ramah sekali dengaku. “Duduk Nur, santai sajalah gak usah tegang begitu”, dia mempersilahkanku duduk di sofa ruangan kerjanya, lalu dengan sedikit sungkan aku pun duduk disana.

Hampir setengah jam aku berada di ruangan Pak Samid. banyak juga yang kami bicarakan, mulai dari menanyakan kabar keluargaku, sampai menanyakan hal-hal yang menyangkut pribadiku.

“Maaf Pak, sebenarnya tujuan Bapak memanggil saya ke sini apa ?”, aku coba beranikan diri untuk mengalihkan pembicaraan ini. Lalu Pak Samid mendekatiku dan berdiri di belakangku. Aku menjadi risih dibuatnya. “Santai saja lah Nur, kamu gak usah tegang begitu di sini hanya ada kita berdua, jadi kamu tenang saja ya”, aku semakin merasa ketakutan Pak Samid menatapku dengan sorot matanya yang liar.

Aku masih berada di ruang kerja Pak Samid, sekilas ku lihat jam di dinding sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Sementara Pak Samid masih terus menatapku dengan sorot matanya yang seolah ingin menerkamku, aku sangat gugup aku takut semakin ia menatapku semakin aku salah tingkah. Pak Samid memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku, aarrggg .. !!! seragam ini membuatku semakin risih saja, seragam dengan kemeja lengan pendek dan rok hitam yang panjangnya hanya selutut, sehingga bila aku duduk, maka akan naiklah rok ini, saat ini aku semakin sibuk menutupi separuh pahaku, yang rupanya menjadi salah satu perhatian Pak Samid saat ini.

“Maaf Pak saya harus pulang, sudah larut malam saya takut Emak saya khawatir” akupun bergegas berdiri dan menuju pintu ruangan ini, Pak Samid tidak menghalangi langkahku dia hanya tersenyum menatapku. “Hahahaha … Nur .. Nur, pintu itu sudah kukunci dan kau tidak akan bisa keluar tanpa kunci ini”, dia terus tertawa sambil memainkan kunci yang ada di tanganya. Aku semakin ketakutan aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada ku. “Pak … saya mau pulang Pak, izinkan saya keluar Pak, saya mohon “, aku menangis dan mengiba padanya.

Pak samid mendekatiku, akupun semakin ketakutan, air mataku mengalir. Semakin aku ketakutan semakin Pak Samid terlihat gembira. Lalu ia menarik tanganku, memelukku dengan erat hingga aku sulit bernapas, dia berusaha untuk mencumbuku, dan aku mencoba melepasakan diriku dari pelukanya, tapi gagal … tubuh Pak Samid jauh lebih besar dariku dan tenanganya pun jauh lebih kuat dari aku. Aku tak kuasa melawannya. “Toloong … toooolllloooooong” aku teiak dengan sekencang-kencangnya, namun sia-sia, sepertinya tidak ada yang mendengarku. “Ssttt … jangan teriak Nur, disini hanya ada kita berdua, jadi lebih baik kau muruti saja semua kemaunku”. Pak Samid tertawa dengan amat keras, dia seperti macan yang akan segera melahap habis mangsanya.

“Lepaskan saya Pak, apa salah saya” aku terus berusaha berontak, aku menangis sejadi-jadinya, dan juga terus berusaha meminta tolong kepada siapapun yang mungkin mendengar jeritanku, serta menghentikan nasib buruk ku ini.

“Toloong ..tooloong…nngggg…hhmmmppp” suaraku terbenam saat pak Samid melumat bibirku seperti seekor lintah yang menghisap sari kehidupanku, darahku, dan kesadaranku, aku tak bisa teriak, aku terbungkam dan merasa semakin tak berdaya. Pak samid semakin garang dan mulai mencoba melucuti pakaianku.

“Lepaskan saya pak .. lepaskan” Pak samid hanya tertawa dan mulai melepaskan pakaiannya satu per satu.

“Ampun Pak .. apa salah saya” lalu Pak Samid berhasil menanggalkan pakaian yang masih menempel di tubuhku yang semakin lemas, aku menangis. Pak Samid terasa semakin kurang ajar dan bernafsu mencumbuku.

“Tolong … toloooong” suaraku hampir habis, Pak Samid akhirnya berhasil membuatku bugil … aku sudah benar-benar bugil sekarang, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhku. Aku merasa seperti seorang bayi mungil yang tak berdaya diatas cengkeraman nafsu bejad Pak Samid.

Pak Samid, menghentikan aksinya, semula aku pikir dia iba melihatku, maka dengan sigap aku berlari menuju jendela ruangan pak Samid, namun sial .. ternyata jendela ini juga sudah di kuncinya.
Pak Samid hanya diam sambil menatapku yang berlari dengan bugil di ruangannya. Dan tiba-tiba Pak Samid menarikku rambutku, dan menjatuhkanku di atas sofa ruang kerjanya.

“Lepaskan saya … lepaskan .. !!” aku mencoba berontak, tapi gagal, tenaga pak Samid cukup kuat untuk menahan tubuhku dalam dekapannya.

“Diaaaaammm …” Pak Samid mulai berbicara, dan akupun terdiam. Aku menahan rasa takut yang teramat sangat sambil terus menerus berdoa semoga ini semua hanya mimpi burukku saja.

“Ampun Pak, lepaskan saya, apa salah saya”, aku mengiba padanya “Sstttt .. diam!!”, hanya itu ucapanya. Aku hanya menangis, aku ingat Emak, aku membayangkan ekspresi diwajah wanita tua itu, wajah yang begitu tulus menyayangiku seumur hidupku, tapi harus di hujam oleh kenyataan bahwa anaknya telah diperkosa.

Aku menangis, terus menangis tanpa henti, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuh pak Samid yang telah dikuasai nafsu mulai menghujami tubuhku dengan segenap birahinya. Aku menahan rasa sakit yang perlahan mulai menerpa setiap jengkal tubuhku, sakiiiiiit sekali. Aku berdoa memohon kepada ALLAH SWT agar dicabut nyawaku. Mungkin lebih baik aku mati saja, daripada harus terus merasakan penderitaan ini.

“Nur … nur” , suara emak mengagetkanku. “Iya .. ada apa Mak” aku gugup, tanpa sadar air mataku mengalir. “Kamu kenapa Nduk, Mak tanya kok malah melamun ?”, aku segera menghapus air mataku “Enggak mak, Nur tidak akan kerja di tempat pak Samid lagi, Nur mau membantu emak dagang sayur saja di pasar. Bolehkan mak ?” emak hanya tersenyum, dia mengusap kepalaku. “Tapi Nur pengasilan dari dagang sayur itu sedikit sekali tidak cukup untuk membiayai sekolah adik-adikmu”, sepertinya Emak tidak setuju dengan ideku tadi. Tetapi memang benar, penghasilan dari berdagang sayur hanya cukup untuk kami makan saja, sementara untuk keperluan adik-adiku sekolah selama ini, mengandalkan dari penghasilanku bekerja di pabrik. “Aaahhh … emak nggak tau si apa yang sudah aku alami” bisikku dalam hati.

0 Comments:

Post a Comment